Judul : Ceritaku bersama-Mu
Penulis : Natalia Erin
Penerbit : Pohon Cahaya
Terbit : Juli 2022
Jumlah Halaman: 117 halaman
Peresensi: Agnes Kusuma
“Bulir-bulir aksara bersatu padu menyapa netra menggapai kalbu yang pernah terluka. Untaian puisi tercipta karena penulis tak mau diam dalam luka.“
Indah sekali untaian kata yang terjelma di kaver belakang buku karya Natalia Erin ini. Mulanya, saat saya melihat kaver depan, saya berpikir ini adalah sebuah biografi cerita perjalanan penulis bersama Tuhan. Setelah saya balik dan melihat kaver belakang, saya baru menyadari, ini adalah kumpulan puisi! Terus terang saya lebih suka menikmati cerita yang ditulis dengan kalimat panjang daripada puisi yang irit kata, karena saya pasti membutuhkan waktu lebih panjang untuk mencerna artinya. Perlahan saya buka halaman profil penulis. Woo… bukan seperti tulisan yang saya temukan dalam buku-buku yang pernah saya baca. Di buku ini Erin, sang penulis, memperkenalkan dirinya dalam bentuk puisi. Dan halaman ini membawa saya maju ke halaman berikutnya tentang perjalanan penulis. Saya rasanya enggan berhenti sebelum halaman terakhir terlewati tapi saya sadar, untuk mencerna puisi saya tidak dapat berlari, saya harus membaca perlahan dan meresapi.
Natalia Erin, seorang ibu rumah tangga yang juga karyawan sebuah bank di Jakarta mulai berkarya tahun 2021. Erin telah menghasilkan dua novel, ‘Goresan Pena Sheilla’ dan ‘Elegi Capucino’, sebuah buku kombinasi cerpen dan puisi berjudul ‘Goresan Merah Jambu’ dan sebuah novel lain ‘Valerie’. Perjalanan hidupnya yang penuh kerikil tajam menggiring dan membawa jari tangannya bergerak menulis buku ini.
Buku kumpulan novel ini diawali dengan puisi berjudul ‘Melukai dan Terluka’ (hal 13) yang mengungkapkan suara hatinya yang terus dilukai, sementara Tuhan yang pengasih tidak pernah mengungkit dosa. Penulis terbeban tak dapat berlari. Dan manusia di sekitarnya? Mereka bertopeng, menutupi kemunafikan yang merajalela. Jiwanya teriris, terluka, tertusuk sembilu. Namun masih ada sahabat yang membawa damai, ada Tuhan tempat dia mengeluh dan bersimpuh, juga Roh Kudus yang menegur dan menghibur hingga dia dapat ‘move on’, bangun, bangkit menghadapi waktu yang tersisa. Penulis sadar akan hidup yang berwarna-warni dan penuh misteri. Harta yang tak berarti bila tak pernah dibagi. Ego yang harus dibuang demi kekasih hati. Dan manusia harus tahan uji dan mampu bertahan, seperti emas yang harus dilebur dalam panas. Semua ini disatukan dengan kata Tuhan yaitu mengampuni, bersenandung memuji-Nya, mendengarkan Tuhan berbicara, merasakan teduh cinta-Nya, dan selalu berada dalam hangat tangan kasih-Nya hingga akhirnya menyadari bahwa bersama Tuhan, pengorbanan-Nya di kayu salib tak sia-sia.
Dalam buku ini penulis beberapa kali mengungkapkan rindu yang direnda dengan air mata. Puisi-puisi bercerita tentang rindu yang dalam, rindu yang menusuk kalbu, rindu yang tertahan (hal 27, 33, 38, 70, 78, 81, 89, 90, 92), juga rindu pada ayahnya yang telah berpulang, sosok yang punya peran istimewa dalam kehidupannya. Rindu yang menyayat hati tapi akhirnya terobati karena penulis bersandar pada-Nya.
Sebuah buku kumpulan puisi yang apik, yang ditata berurutan dari pengalaman tak mampu berdiri apalagi melangkahkan kaki hingga dapat merasakan dikasihi, dicintai dan dapat bersaksi. Namun ada beberapa pilihan kata yang terasa ‘asing’ buat saya yang tidak terbiasa membaca puisi, yang agak mengganggu untuk dapat memahami keseluruhan cerita.
Agnes Kusuma- penulis biografi dan novel, penulis renungan mingguan di gereja St Yusup Gedangan, katekis, lahir di Semarang.