Judul Buku : Bits & Pieces : In Love with Mas Bram
Penulis : Kun Herrini
Tahun terbit : 2021
Penerbit : Pohon Cahaya
Cetakan : Cetakan 1, 2021
Tebal buku: 207 halaman
ISBN : 978-602-4912-90-1
Jenis Buku : Fiksi
Peresensi: Maria Syauta
Sebelum mengulas buku ini, saya terkesan saat membuka halaman pertama setelah sampul buku. Saya kaget karena di lembaran yang bertanda tangan itu penulis menyapa dengan menyebut nama kecil saya. “Jeng Arin, semoga cerita mas Bram ini bisa menambah semangat untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai.” Sebuah sapa dan percikan semangat buat saya yang sedang merampungkan sebuah buku. Sapaan itu menjadi penting bagi saya karena ini menunjukkan perhatian penulis kepada calon pembaca bukunya.
Bits & Pieces : In Love with Mas Bram. Kesan pertama saat melihat kover buku berwarna ungu ini adalah novel kisah cinta dengan satu tokoh bernama mas Bram. Kisah kasih tokoh Merry dengan mas Bram yang akan saya temui sejak di bab pertama buku ini. Ternyata saya salah. Setelah saya baca ringkasan di cover belakang ternyata ada tokoh lain sebelumnya. Tokoh mas Bram baru ada di bab sepuluh yang awalnya hanya lewat begitu saja. Tokoh Yossi yang menjadi cinta pertama Merry lebih banyak mendominasi di bab awal. Tapi ini yang bikin penasaran. Yang membuat saya tak berhenti membuka lembar-lembar berikutnya.
Cerita dengan setting era 80-an itu dibuka dengan perkenalan Merry dan Yossi, kakak teman sekolahnya. Merry anak SMA yang mandiri, pandai memasak dan suka menyanyi. Dia tinggal bersama eyangnya di Jogja. Orang tuanya tinggal di Wonosari. Merry aktif dalam kegiatan di gereja. Di sana pula dia bertemu Yossi, cinta pertamanya.
Perjalanan cintanya tidaklah mulus karena ibu Yossi tidak setuju. Mereka memilih berpisah sementara dengan harapan bisa merajut kembali tali kasih setelah lulus sekolah dan tidak bergantung pada orang tua. Namun harapan tinggal harapan karena sakit membawa Yossi berpulang.
Bram hadir dengan membawa penghiburan tetapi cinta pertama yang penuh kenangan membuat tak mudah bagi Merry menerima cinta lelaki itu. Kegigihan Bram sampai pada batasnya saat ia memilih meninggalkan Jogja dan menempuh studi di Kanada.
Novel yang terdiri dari potongan-potongan kisah ini ada 45 bab. Di tiap bab jumlah halaman bervariasi. Paling banyak 3-5 halaman. Meski tiap bab adalah potongan cerita tapi antara bab yang satu dengan yang lain terasa menyatu. Alur ceritanya dari awal hingga akhir tidak membingungkan. Setting cerita ada di era 80-an hingga awal milenium dengan mengambil lokasi tempat di berbagai kota-Jogja, Bandung, Jakarta dan Bali. Bagi mereka yang pernah hidup di jaman dimana surat dan telegram menjadi alat komunikasi saat itu pasti bisa membayangkan lamanya menanti berita dari yang dirindu.
Aktivitas keagamaan dan paduan suara menjadi bumbu penyedap cerita. Konflik-konflik di dalamnya dituturkan dengan apik. Konflik yang dibangun juga tidak mengada-ada. Kejadian-kejadian yang lumrah ada dalam keseharian tetapi dikemas dengan baik oleh penulisnya. Ceritanya mengalir, bikin penasaran dan menggemaskan. Bu Kun pandai memainkan emosi pembaca.
Judul buku dan judul tiap bab menggunakan bahasa Inggris. Namun cerita novel ini memakai bahasa Indonesia sehari-hari dengan sedikit menyertakan istilah atau imbuhan khas Jawa. Beberapa kalimat berbahasa inggris juga tertulis di sana, menyesuaikan cerita.
Ada pesan-pesan moral yang terselip dalam cerita novel ini. Salah satunya waktu Merry butuh kekuatan saat mengikuti lomba paduan suara dan bertugas sebagai solois, dia ingat ibunya pernah berkata, “Apa pun yang kamu lakukan akan meninggalkan jejak. Pastikan jejakmu bagus.”
Hal menarik lainnya ketika sang ibu menghibur Merry, saat Bram memutuskan pergi. “Kalau dia sayang kamu, pasti dia akan berjuang. Kalau dia tidak datang lagi berarti memang kurang kuat dia berjuang.” Pesan-pesan dari seorang penulis yang adalah ibu dari seorang putri, yang bila kita jeli menangkapnya dapat menjadi hikmah. Bukankah kita membaca buku untuk mendapatkan manfaatnya?
Dari novel ini tersirat makna bahwa hadirnya cinta tak mengenal usia. Jika memang sudah jodoh maka tak akan kemana. Walau lama terpisah jarak dan waktu maka akan dipersatukan juga. Hikmah lain yang ingin disampaikan adalah bahwa cinta pertama memang biasanya melekat dalam ingatan. Namun jika terus tenggelam dalam kenangan tak akan membawa perubahan. Membuka hati menjadi salah satu cara untuk melupakan dan kembali merajut kebahagiaan.
Saya belum melihat banyak kekurangan di novel ini. Hanya saja perlu diperhatikan konsistensi sosok yang bukan tokoh utama. Misal eyang. di bagian depan sosok eyang adalah seorang lelaki. Namun di jelang bab akhir sosok eyang digambarkan seorang perempuan yang akan dibelikan kebaya oleh Merry. Atau mungkin yang dimaksud eyang yang lain?
Saran bagi penulis, mengingat novel ini dikemas dalam potongan-potongan kisah, sepertinya masih dimungkinkan untuk membuat lanjutan kisah setelah Merry dan Mas Bram bersama dengan setting saat ini. Pasti seru.
In love with mas Bram membuat saya terkesan. Bacaan ringan yang cukup menghibur dan layak anda baca.
Gempol, September 2022
Maria Syauta, penulis buku Pernik Indah di Kain Hidupku dan beberapa buku antologi, suka menulis puisi, lirik dan lagu. Bekerja sebagai ASN, tinggal di Pasuruan Jawa Timur. Bisa dihubungi di IG: @maria_syauta, Facebook : Maria Syauta YouTube: Maria Syauta.