Judul : Sehelai Daun Luruh
Penulis : Albertus Goentoer Tjahjadi
Penerbit : CV Brizqha Media Qita
Terbit : Tahun 2022
Jumlah Halaman: 92 halaman
Peresensi: Agnes Kusuma
Banyak peristiwa dalam kehidupan ini memiliki makna yang dalam, demikian kalimat pertama dalam kata pengantar buku yang berjudul Sehelai Daun Luruh. Pak Goen, panggilan saya untuk penulis, mengumpulkan sembilan puluh satu puisi dalam buku ini dan mengajak pembaca untuk menyadari berbagai peristiwa yang menjadi bagian hidup manusia.
Albertus Goentoer Tjahjadi, yang suka menulis sejak SMP, dan sekarang aktif menulis renungan dan cerita di Instagram mempunyai visi dalam menulis ‘Menulis untuk Indonesia yang Lebih Baik’. Pak Goen sudah menerbitkan beberapa buku, diantaranya ‘Melayani dengan Sukacita’ yang merupakan buku pertamanya, ‘Cerita Pica’, dan ‘Cinta, Hidup, Manusia’
Buku kumpulan puisi ini berisi berbagai topik, dari penyadaran tentang ’Aku’, ‘Kekasihku’, dan ‘Cinta’. Perbedaan antara dua manusia, ayah, ibu, sahabat, musuh, seekor kelinci yang bernama Sachi, tentang kesederhanaan, kesetiaan, kebenaran, tentang anak-anak yang polos menggemaskan yang dilihat sebagai malaikat, juga tentang berbagai ciptaan Tuhan seperti bumi, pelangi, dan Indonesia yang dulu subur dan kini tandus dan gersang. Tentang Corona yang baru saja kita alami, mengenai ponsel, juga tentang kata maaf dan terima kasih yang tidak hanya diungkapkan pada sesama tapi juga pada Tuhan Sang Pemberi Kehidupan. Dan… masih banyak lagi topik yang lain. Oh ya, ada yang unik juga, ada satu puisi berbahasa Jawa ‘Ojo Dumeh’ (hal 38)
Puisi tidak dapat dibaca dengan cepat. Puisi harus dibaca perlahan, diresapi, dan direnungkan. Satu halaman berisi satu puisi. Kadang puisi itu panjang, terdiri lebih dari dua puluh baris deretan kata (hal 17), tapi ada juga beberapa puisi yang hanya terdiri dari empat baris saja, bahkan ada satu puisi pendek yang hanya terdiri dari enam kata. Puisi singkat tapi ‘kena’, puisi tentang penantian (hal 90)
Saya tergelitik mencari tahu, kenapa Pak Goen memilih judul ‘Sehelai Daun Luruh’ untuk judul kumpulan puisi ini. Ternyata, setelah saya membaca perlahan-lahan, satu persatu, dari setiap puisi yang tertulis di situ, saya dapat menyimpulkan bahwa kita seringkali tidak menyadari apa yang terjadi di sekitar kita, kita tidak memperhatikan ada perubahan dalam kehidupan kita, kita tidak tahu ada yang hilang dari diri kita, kita tidak ‘ngeh’ ada sehelai daun yang jatuh ke tanah.
Sebuah buku yang tepat untuk menemani kita berefleksi, menyadari keberadaan kita di antara sesama, menjadi bagian dari alam di bumi kita, dan menyadari Tuhan Yang Kuasa yang mencintai kita. Bila kita ingin sejenak berhenti dan mundur ke belakang melihat dan merenungkan apa yang telah kita alami, buku ini dapat menjadi penuntun karena puisi-puisi yang disajikan benar-benar dekat dengan kita. Seandainya kita tidak berada dalam peristiwa itu, kita pun dapat berefleksi. Seperti puisi ‘Anak’ (hal 44), penulis merasa begitu lama menunggu kehadirannya hingga putus asa mendera, menantikan sang buah hati yang tak kunjung tiba. Dari puisi itu kita dapat merasakan kekosongan hati pada saat penantian. Tapi bila kita mendapatkan karunia sebaliknya, kita dapat juga bertanya pada diri sendiri apakah kita berusaha mencintai anak kita sepenuh hati atau malah menyia-nyiakan bahkan membuangnya karena terganggu dengan kehadirannya?
Kumpulan puisi yang indah penuh makna, namun akan menjadi lebih indah bila Pak Goen dapat menyusunnya menjadi sebuah rangkaian yang berurutan layaknya sebuah cerita yang mempunyai alur yang jelas.
Agnes Kusuma – penulis biografi dan novel, penulis renungan mingguan di gereja St Yusup Gedangan, katekis, ibu dari tiga anak yang sudah dewasa, tinggal di Semarang.