Judul : Aku, Dia, dan DIA
Pengarang : Agnes Kusuma
Editor : Anang YB
Penerbit : Pohon Cahaya
Edisi : Hard Cover
Tahun Terbit : 2020 (cetakan pertama)
Tebal Halaman : x, 342 halaman
Ukuran : 10,7 cm x 15,7 cm
ISBN : 978-602-4912-44-4
Harga : Rp 120.000
Peresensi: Christin Liem
Siapa yang tidak kenal dengan kata “Cinta”? Cinta kepada sesama, cinta kepada kekasih hati, cinta orang tua pada anak, cinta anak pada orangtua, cinta buta, cinta mati, cinta setengah mati, dan cinta Tuhan kepada umat-Nya.
Tidak akan habis jika segala bentuk cinta diceritakan. Cinta romatis a la Romeo dan Juliet, Sampek – Engtay, kisah cinta yang memilukan dari negeri Cina, bahkan kisah cinta Titanic antara Jack dan Rose, dan masih banyak lagi buku bertemakan tentang cinta yang selalu menjadi santapan nikmat sebagian besar penduduk dunia.
Karya pertama dari Agnes Kusuma yang mengangkat kisah nyata dari perjalanan hidupnya yang bisa dikatakan “penuh rintangan dan berat”, tapi dapat dijalaninya dengan iman dan cinta. Cinta seperti apa yang dimiliki pengarang buku ini?
Ketika membaca 3,5 halaman pertama yang merupakan Pendahuluan, paragraf demi paragraf menerangkan segala hal tentang cinta. Pemikiran cinta yang sangat cerdas, anggun, dan bersahaja. Alur cerita ditulis dengan rapi, meskipun pada saat itu pengarang hanya mempunyai waktu yang terbatas karena harus merawat sang suami tercinta. Selain rapi, rupanya kecepatannya menulis menjadi salah satu keahliannya. Terbukti dengan karya-karya lainnya yang menyusul bak beranak pinak.
Kegigihan dan perjuangan yang dilakukan pengarang dan suaminya perlu diacungi empat jempol. Menariknya lagi, ada titik balik di dalam cerita ini yang diceritakan dengan terperinci dan sangat detail.
Saya terkesan dengan gaya bahasa khas Semarangan yang menjadi ciri khas pengarang dan tersurat dalam dialog-dialog di setiap bab. Cerita menjadi lebih hidup dan saya menikmatinya seperti saya menonton sebuah adegan langsung di depan saya.
Awalnya saya berasumsi cerita yang bakal saya baca adalah cerita sedih berkepanjangan yang akan ditinggalkan sebelum habis dibaca. Ternyata buku ini tetap menarik dibaca hingga akhir karena terselip canda tawa yang melibatkan tokoh utama yang saat itu sedang berjuang latihan bicara, latihan jalan, dan latihan-latihan lainnya. Berbagai cara yang dilakukan untuk sembuh termasuk di dalamnya apa saja terapi yang diterapkan juga dapat menjadi acuan bagi orang yang memerlukannya.
Uniknya, di setiap akhir bab selalu ada doa yang dipanjatkan. Seberat apa pun kisah yang ditulis, pada akhirnya saya merasakan kesejukan. Karena doa yang ditulis bukan untuk diri sendiri tapi justru untuk orang lain atau sekedar bersyukur atas Kasih-Nya yang tak terbatas.
Dengan membaca kisah ini saya seperti tersentil berkali-kali. Tokoh-tokohnya yang tidak mudah menyerah, mengasihi sesama, dan mampu mengampuni kesalahan orang lain menjadi nilai-nilai positif yang diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan. Selain inspiratif, buku ini layak untuk dikoleksi yang dapat menjadi sebuah renungan atas perjalanan hidup yang pernah dimiliki dan dijalani dengan diselingi keindahan cinta yang tak terbatas. Cinta yang terhubung satu sama lain: antara aku, dia, dan DIA.
Seperti kutipan salah satu doa terindah yang menjadi penutup di bab terakhir,
“Bapa, terima kasih. Hidup kami menjadi sungguh indah karena kasih dan penyertaan-Mu. Kau beri kami mata untuk melihat kasih-Mu, telinga untuk mendengar tuntunan-Mu, mulut untuk mewartakan kebaikan-Mu, tangan untuk membagikan berkat-Mu, dan kaki untuk berjalan bersama sesamaku menjadi saksi-Mu.”
Christin Liem, penulis novel Faraya dan buku antologi Lampaui Harapan di Akademi Penulis Buku yang aktif mengembangkan bakat menulisnya dengan mengikuti berbagai webinar terkait kepenulisan dan aktif membaca berbagai genre buku, baik fiksi maupun nonfiksi.