Judul buku : “Surya Candra. TUNDUK”
Penulis : Fithriyah
Penerbit : Mecca
Tahun Terbit : 2022, Cetakan Kesatu, April 2022
Dimensi Buku : 21 x 14,8 x 1,5 cm
Tebal buku : viii + 239 halaman
Bahan : Kertas putih, cetakan hitam
ISBN : 978-623-330-090-2
Harga : Rp.89.000
Peresensi: Pardiman
Permasalahan hidup dan kehidupan manusia, tidak akan pernah habis untuk diceriterakan, tidak terkecuali kehidupan kaum perempuan. Penulis, mengangkat permasalahan sensitif yang masih banyak dialami oleh kaum perempuan, yang berakibat pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan yang menjadi korban adalah pihak perempuan. Novel berjudul ”Surya Candra TUNDUK”, diakui oleh penulisnya terinspirasi dari kisah nyata (sampul). Di awal novel, penulis menyampaikan hasil survei nasional, bahwa 54% perempuan di Vietnam telah mengalami siksaan emosional, dan 25,4% mengalami kekerasan. Kesaksian para korban dan bentuk-bentuk kekerasan yang dipresentasikan dalam pertemuan tersebut, menimbulkan berbagai ekspresi keterkejutan, termasuk peserta dari Indonesia.
Dalam novel tersebut, penulis menampilkan tokoh utama seorang wanita berpendidikan tinggi, bernama Azka, merupakan aktivis di bidang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan (P3). Sejak anak-anak dia paling tidak tahan dalam menghadapi kekerasan, terutama penyebabnya. Namun tugasnya, membuat dia tidak bisa mengelak dari tanggung jawab dan tantangan yang sangat dinamis. Dari berbagai bentuk KDRT yang diacu dalam survei tersebut, yaitu kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi. Azka berharap dengan mempelajari survei tersebut, bisa mengambil manfaat dan kemungkinan penerapannya di Indonesia, antara lain berbagai isu sensitif permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang banyak disebabkan oleh beragam penyebab. Kondisi tersebut membuat Azka harus tegar dalam menghadapi tantangan yang terberat sekalipun, dan keinginannya untuk memberikan perlindungan kepada perempuan.
Penulis telah berhasil menyusun cerita yang terinspirasi dari peristiwa nyata, menjadi novel yang sangat menarik, dari awal sampai akhir, mengalir, runtut ceritanya dan enak dibaca, apalagi didukung dengan hasil riset. Banyak tokoh yang ditampilkan dalam setiap bab, sehingga untuk bisa mengingat dan memahaminya, saya terpaksa membaca kembali bab-bab sebelumnya. Terlepas dari semua itu, hadirnya sosok Azka, sering menjadi tempat bertanya bagi teman-teman wanita, dan bahkan dari teman laki-lakinya, seperti Nala dan Deya, walau kadang solusi yang disampaikan tidak membuahkan hasil, karena sikap temannya itu sendiri yang tidak konsisten. Sebagai pribadi sesungguhnya Azka juga memiliki permasalahannya sendiri, di usia menjelang 40 tahun belum menemukan jodohnya. Sekalipun demikian, keadaan tersebut tidak menghalangi ketegasan dan prinsip hidupnya, sesuai ajaran kedua orangtuanya. Bahkan Azka berani menolak permintaan pamannya sendiri, Om Mizwar, yang berusaha menjodohkannya dengan rekan bisnisnya, demi mempertahankan bisnisnya dari kebangkrutan.
Novel ini menjadi lebih hidup, karena penulis berhasil menyampaikan dengan gaya berceritera (story telling), sehingga memberikan kebebasan kepada pembaca untuk menilai novel tersebut. Sebagai produk karya fiksi yang dilengkapi dengan riset, tentu akan menambah wawasan terhadap liku-liku persoalan KDRT, pengetahuan pranikah melalui ta’aruf sesuai syariat Islam, dan permasalahan sindrom Asperger karena gangguan psikologis. Pesan moral yang disampaikan dengan berceritera, mampu membungkus kekakuan apabila terbentur dalam hal-hal yang sensitif, seperti proses ta’aruf pranikah menurut syariat Islam, yang masih banyak belum dipahami oleh masyarakat kita.
Dengan membaca novel dari awal hingga akhir, kita seperti sedang menonton serial telivisi dengan judul “Mengapa Perempuan Harus Tunduk?”. Tunduk pada keadaan, karena terlahir sebagai perempuan yang harus menerima takdirnya, dan tunduk sebagaimana pihak yang dipersepsikan, bahwa perempuan adalah makluk yang dianggap lemah. Kisah kehidupan kaum perempuan dan jatuh bangunnya, seakan terwakili dengan kiprah dan ketegaran sosok Azka. Secara keseluruhan cerita dalam novel tersebut, bisa memberikan pembelajaran yang sangat berharga bagi pembaca. Novel ini layak dibaca, karena mampu mengangkat pesan moral dan agama Islam, dari sudut pandang penulis, walau tidak semua pembaca setuju, namun keberaniannya perlu diacungi jempol.
Akankah Azka tunduk pada tuntutan keluarga besarnya, pandangan masyarakat, dan kehilangan hak pilihnya untuk menentukan jodohnya sendiri, seperti yang didambakan oleh penulis, bahwa “suami istri laksana surya candra, saling isi, melengkapi pasangannya. Pernikahan adalah kerjasama, bukan persaingan tanpa jeda”. Pertanyaan tersebut, terjawab pada Bab 21 Tunduk, bahwa pada akhirnya Azka menerima lamaran Nare adik kelasnya, yang sangat dikagumi, dan sesama aktivis sewaktu kuliah di Bandung, Ternyata…, jodoh seseorang itu memang unik jalannya. Ada yang lurus mulus saja, tetapi banyak pula yang berliku dan butuh waktu lama seperti aku (Nare) dan Teh Azka. (hal 224).
Berdasarkan uraian tersebut, saya merekomendasikan kepada pembaca untuk memiliki novel tersebut, sebagai pengetahuan yang komprehensif terhadap suatu isu perempuan yang cukup sensitif, dan sebagai bahan pembelajaran dari sebuah cerita, dengan belajar dari permasalahan yang ada disekitar kita. Novel ini sangat cocok untuk para orang tua yang belum menikahkan anak-anaknya, dan para perempuan yang mempunyai permasalahan hampir sama, setidaknya untuk mencari solusi yang terbaik. Saya yakin novel ini, dapat mewakili keinginan penulis untuk meningkatkan kepedulian terhadap kaum perempuan Indonesia.
Pardiman, pensiunan PNS Kemenkeu, yang memanfaatkan masa pandemi, untuk belajar menulis di Akademi Penulis Buku dan Edwrite. Tahun 2022 menyelesaikan tiga buku nonfiksi, Autobiografi, Biografi dan Memoar serta ikut menulis dua Antologi Cerpen.