Judul : Tabir
Penulis : Ika Patte
Tebal Buku : 129 halaman
Penerbit : Stiletto Indie Book, Yogyakarta, 2021
Peresensi: Atika Hdy
Tabir adalah buku pertama dari sebuah tetralogy. Novel ini mengangkat isu tentang kesehatan mental akibat trauma di masa kecil yang dialami seorang wanita. Isu kesehatan mental sendiri bukan hal mudah untuk diceritakan, penulis bisa saja gagal menghadirkan cerita kalau tidak didukung dengan pengetahuan dan data yang cukup. Pada novel Tabir ini, Ika Patte sukses mengangkat tema yang menurut saya cukup sulit ini. Siapa yang menyangka kalau Tabir adalah novel pertama yang ditulis Ika Patte.
Tabir bercerita tentang Mera yang mengalami depresi berat. Perlakuan buruk dan kasar dari kedua orang tuanya sejak kecil meninggalkan luka dalam hidupnya. Apalagi jika dibandingkan dengan adiknya, terasa sangat berbeda perlakuan yang diterimanya. Diceritakan bagaimana Mera kecil berkali-kali mencoba membuktikan kepada orang tuanya-terutama Bapak-kalau ia pantas disayangi dan diperhatikan. Namun, semua usahanya sia-sia. Prestasi yang diraihnya di sekolah sama sekali tidak dihargai oleh Bapaknya. Hal ini membuat Mera mulai mempertanyakan jati dirinya, tapi tak pernah mendapatkan jawaban dari Prapti ibunya.
Mera tumbuh dengan luka batin yang tidak pernah sembuh hingga dewasa. Merasa dirinya tidak berharga dan tidak layak dicintai. Walaupun begitu, digambarkan oleh pengarang ia tumbuh dewasa menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Ketika datang seorang laki-laki yang tertarik padanya, ia merasa dirinya berharga dan membalas cinta laki-laki itu dengan sepenuh jiwa. Namun, suami yang dipujanya ternyata memperlakukannya lebih buruk. Luka batin Mera kembali terbuka, dan kali ini lebih parah. Mera depresi berat.
Gambaran halusinasi yang dialami Mera membuka cerita pada buku ini. Pengarang dengan piawai mendeskripsikan isi kepala seorang wanita depresi yang membuat pembaca bergidik seram, terkesan horor dan menakutkan. Itu sebabnya banyak pembaca yang merasa kecele, mengira Tabir adalah novel bergenre misteri, padahal bukan. Karut marut dan kusutnya isi kepala Mera yang digambarkan pengarang membuat kening saya berkerut sekaligus juga manggut-manggut mengerti.
Menggambarkan sosok wanita dengan halusinasi tentu akan terasa dangkal jika hanya dari satu sudut pandang. Pengarang dengan cerdas berganti POV di setiap bab untuk menghadirkan gambaran utuh sosok Mera. Tokoh-tokoh yang bersinggungan dengan Mera bergantian menceritakan kondisi Mera di setiap bab.
Memang akan terasa sedikit penyesuaian di benak pembaca saat pergantian POV, tapi hal tersebut tidak terlalu mengganggu saya selama menikmati novel ini. Justru ini menimbulkan rasa puas, dimana pembaca mendapatkan informasi apa yang ada di kepala Mera, juga apa yang dilihat orang dari sosok Mera. Teknik bercerita yang sulit, tapi dapat dieksekusi dengan baik oleh pengarang.
Alur cerita mengalir cepat, tidak membosankan dengan adanya plot maju dan mundur. Narasi dan dialog tidak berlebihan dan bertele-tele. Beberapa percakapan dalam bahasa Jawa memperjelas setting tempat kejadian, walau penulis tidak secara terang-terangan menyebutkan nama daerah. Justru membuat pembaca makin penasaran dan menebak-nebak.
Penokohan dalam novel ini juga pas, semua orang yang bersinggungan dengan Mera dikenalkan secukupnya oleh pengarang, membuat pembaca makin memahami cerita Mera.
Kalaulah ada kekurangan pada novel ini, itu adalah singkatnya cerita di setiap bab. Saya mengumpamakannya seperti orang yang makan dalam porsi kecil-kecil, kurang puas menikmatinya. Dalam novel ini, menjadi kurang terasa konflik di setiap babnya. Mungkin ini pilihan yang diambil pengarang untuk fokus pada tema utama, yaitu sosok Mera.
Ending cerita terasa menggantung, tapi sepertinya pengarang sengaja memberikan pe-er bagi pembaca untuk terus memikirkan nasib Mera. Mau tak mau siapapun yang sudah membaca novel pertama dari tetralogy ini akan sangat menantikan kelanjutan cerita Mera.
Pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel ini sangat kuat. Kisah Mera seharusnya mencubit nurani kita, untuk berempati pada orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental. Kita tidak pernah tahu bagaimana trauma yang sudah mereka alami. Bagi pembaca yang menyukai novel bertema psikologi terutama isu tentang kesehatan mental, saya sangat rekomendasikan buku ini.
Atika Hdy, Penulis novel Alita, Jalan Panjang Kesendirian.