Judul: Tabir
Penulis: Ika Patte
Penerbit: Stiletto
Tahun: 2021
Jumlah Halaman: 129 + vi halaman
Peresensi: Fithriyah
Berbagai kisah penderita gangguan kejiwaan telah banyak ditulis, bahkan difilmkan. Mulai dari orang berkepribadian ganda, skizofrenia, bipolar, dan sebagainya. Namun, jarang saya temui tulisan tentang gangguan kejiwaan akibat trauma masa kecil. Gangguan akibat inner child trauma inilah yang berusaha diangkat oleh Ika Patte dalam novelnya.
Mistis. Horor. Begitulah kesan pertama saya saat melihat sampul buku ini. Sempat saya abaikan keinginan untuk membelinya, karena buku bergenre horor tidak termasuk dalam daftar bacaan saya. Namun, testimoni dari beberapa pembaca novel ini bertebaran di media sosial penulisnya, yang akhirnya mulai menarik perhatian saya. Setelah memastikan langsung kepada penulisnya bahwa ini bukan kisah horor, barulah saya putuskan untuk membelinya.
Perasaan mistis dari sang gelang Antaboga di sampul ternyata masih mempengaruhi saya saat akan membaca buku ini. Sengaja saya pilih untuk membacanya di siang hari, dengan suasana yang dikondisikan senyaman mungkin. Persiapan untuk menyambut ‘kejutan’ tak terduga dari novel ini. Perasaan yang kemudian terkonfirmasi dengan judul bab satu yang mengingatkan pada sebuah film horor. Ditambah dengan kalimat-kalimat pembuka bab tersebut, yang menimbulkan kengerian tersendiri.
Lambat-laun, saya mulai menangkap maksud penulis dan kian santai menikmati lembar demi lembar kisah perjalanan Mera dalam menguak tabir masa kecilnya. Seperti sampulnya, kalimat-kalimat di buku ini menarik saya untuk membacanya terus, hingga habis dalam sekali duduk. Bahasanya sederhana, namun sangat detail dalam mendeskripsikan perasaan dan kondisi sekitar Mera, sang tokoh utama buku ini.
Mera, atau yang biasa dipanggil Inon di keluarganya, adalah seorang perempuan mungil yang cantik, cerdas, pemalu, dan sangat penurut. Tak hanya kepada orang tuanya, tetapi juga kepada suaminya. Ternyata, di balik sikap penurut dan pemalunya itu, Mera memiliki rahasia yang sangat kelam. Rahasia yang mengikutinya sejak kecil, hingga dewasa dan berumah tangga. Misteri yang bahkan nyaris merenggut jiwanya dan orang-orang di sekelilingnya, di luar kesadarannya. “Suatu hari aku mendapat bisikan untuk bunuh diri saja, Put,” aku mengaku (halaman 105).
Kisah yang dibuka dengan pengalaman Mera setiap malam ini bergulir apik, membawa pembaca berkenalan dengan tokoh-tokoh di sekitarnya. Para tokoh yang ternyata memiliki problemanya masing-masing, membangun konflik yang saling berkelindan antarbabnya.
Penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, sehingga seluruh tokoh ini terasa lebih dekat kepada pembaca. Ada beberapa kebingungan yang ditimbulkan oleh penulisan dari sudut pandang ini, seperti saat percakapan Mera dengan ‘temannya’. Walaupun demikian, percakapan secara umum di novel ini mengalir ringan seiring alurnya, nyaman dinikmati, sekaligus memicu pembaca untuk menuntaskannya hingga akhir, tanpa jeda.
Setting lokasi kejadian tidak sepenuhnya disebutkan secara gamblang, terutama untuk daerah asal Mera. Sepertinya ini disengaja oleh penulis agar pembaca tidak terjebak untuk mengira-ngira jati diri perempuan itu di dunia nyata, apalagi novel ini tidak mencantumkan disclaimer tentang kemiripan tokoh, tempat, maupun peristiwa. Walaupun dari dialog-dialognya, tampak jelas bahwa para tokoh ini berasal dari daerah Jawa bagian tengah.
Hal lain yang menarik dari Tabir adalah akhir kisahnya, yang dibiarkan menggantung, tak ubahnya seperti mayoritas film horor. Ada ketegangan lain yang tak terduga dan sepertinya menjadi pintu masuk untuk buku berikutnya, mengingat Tabir adalah buku pertama dari Tetralogi Mera.
Kesan terdalam setelah menamatkan buku ini adalah tergugah dan terbukanya mata hati saya oleh perjuangan hidup orang-orang seperti Mera. Juga kesan saya terhadap lagu “Tak lelo lelo lelo ledung” yang diangkat penulis sebagai musik latar saat peluncuran Tabir. Perasaan terhadap lagu itu setelah membaca buku ini, takkan pernah sama lagi seperti sebelumnya.
Fithriyah suka menulis, membaca, piknik, wisata kuliner, dan menonton film. Karya tulisnya meliputi 7 buku dan kontributor dalam 25 antologi. Untuk bersilaturahmi, ia dapat dikontak melalui:
Surel : fykarbooks@gmail.com
Facebook : @Fykar Books
Instagram : @fykar.books