Judul Buku : Surya Candra, Tunduk
Penulis : Fithriyah
Penerbit : Penerbit Mecca, 2022
Jumlah Halaman : 239
Peresensi: Atika Hdy
Perempuan dengan segala permasalahannya tidak pernah sepi dibicarakan. Mulai dari konferensi tingkat internasional hingga tingkat lokal dalam percakapan sehari-hari. Walaupun para ahli dan aktivis perempuan giat menyuarakan dan membela hak-hak perempuan, kenyataannya tetap saja ada kisah perempuan yang dianggap tabu atau terlalu sensitif untuk dibahas. Novel Surya Candra, Tunduk mengangkat isu sensitif tersebut, bahkan lebih dari satu.
Berbagai isu sensitif yang diangkat dalam novel ini diantaranya adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). sindrom asperger, dan proses ta’aruf sebelum menikah. Membaca novel ini, saya yakin kalau penulis sangat memahami isu-isu tersebut. Diperkuat lagi dengan daftar pustaka sebagai sumber rujukan yang dicantumkan penulis di akhir buku. Kalau biasanya saya sering meragukan fakta dan data yang disebut dalam sebuah cerita fiksi, hal tersebut tidak terjadi ketika saya membaca buku ini. Banyak pengetahuan baru yang saya dapatkan setelah membaca novel ini, yang membuat saya manggut-manggut setiap selesai menyusuri kalimat-kalimat di dalamnya. Contohnya tentang kasus KDRT, bentuk KDRT tidak hanya kekerasan fisik, tapi juga dalam bentuk ekonomi, psikologis, dan seksual. Dalam buku ini diceritakan bagaimana perempuan yang mengalami bentuk KDRT tersebut.
Tokoh utama dalam novel ini adalah seorang perempuan dewasa bernama Azka yang bekerja di bidang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan. Di awal cerita diceritakan kalau Azka sangat tidak tahan dengan bentuk kekerasan, tapi pekerjaannya membuat Azka mau tidak mau harus berhadapan dengan korban kekerasan. Tidak hanya di lingkungan pekerjaannya, beberapa orang terdekatnya juga ada yang mengalami KDRT. Sikap Azka yang profesional sekaligus juga perhatian, membuat ia sering menjadi tempat bertanya dan tempat bercerita masalah teman-temannya. Pada saat yang sama, Azka juga sedang menghadapi masalahnya sendiri yang belum juga mendapatkan jodoh di usianya yang sudah lebih empat puluh tahun.
Selain menghadapi kasus-kasus perempuan, Azka juga bersinggungan dengan masalah teman laki-lakinya. Walaupun status Azka lajang, ia juga sering diminta teman laki-lakinya untuk mencarikan calon istri. Namun, usaha Azka membantu temannya beberapa kali gagal karena sikap plin-plan temannya. Penulis dengan jelas menggambarkan bagaimana sikap Azka menghadapi temannya itu. Juga ketika pamannya berusaha memanfaatkan status lajang Azka untuk mengambil keuntungan darinya, dengan tegas Azka menolaknya.
Sebagai perempuan saya suka cara penulis menggambarkan sosok Azka yang mandiri, cerdas, perhatian, dan sekaligus juga tegas. Walaupun Azka juga menghadapi masalahnya sendiri, tapi tidak membuatnya menjadi rapuh dan lemah. Hanya saja, saya kurang mendapat gambaran sosok Azka secara fisik, tapi hal tersebut tidak mengurangi kekaguman saya. Namun, seandainya penulis lebih rinci menggambarkan sosok Azka, tentunya itu akan lebih baik lagi.
Sosok-sosok perempuan lainnya yang diceritakan dalam novel ini juga berhasil membuat saya berempati pada masalah mereka. Apalagi karena penulis menyatakan dengan jelas di halaman sampul bukunya kalau kisah-kisah tersebut diangkat dari kisah nyata. Saya yakin, banyak perempuan yang merasa terhubung dengan isu-isu yang diangkat dalam novel ini.
Sisi positif lain yang saya dapat dari buku ini, penulis berhasil mencapai misinya untuk menyampaikan isu-isu sensitif tentang perempuan dengan cara yang mudah dimengerti dan dipahami. Cara penulis membagi setiap cerita dengan kasus berbeda di setiap bab juga membuat saya penasaran untuk membalik setiap halamannya. Namun, karena banyak sekali kasus yang ingin disampaikan penulis dan melibatkan banyak tokoh, sedikit menimbulkan kebingungan. Beberapa kali saya harus membuka kembali halaman-halaman sebelumnya untuk memastikan tokoh yang dimaksud tidak tertukar. Ditambah lagi, beberapa nama tokohnya juga mirip, seperti Alina dengan Lalita, Nare dengan Nala.
Semua tokoh dalam buku ini memiliki masalah dengan penyelesaiannya masing-masing, karena itu saya sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokoh utama, Azka. Penulis menjawabnya di bab akhir sekaligus sebagai penutup yang manis dari keseluruhan cerita.
Akhir kata, buku ini penting untuk dibaca tidak hanya oleh perempuan tapi juga laki-laki, karena di dalam buku ini banyak pengetahuan yang disampaikan dengan cara bercerita yang mudah dipahami.
Atika Hdy, penulis novel Alita, dan juga seorang dosen. Karyanya tidak hanya novel fiksi tapi juga artikel ilmiah yang sudah dimuat di beberapa jurnal nasional dan internasional. Membaca novel adalah hobbynya disamping membaca buku dan artikel ilmiah.